Jumat, 03 Juni 2016

Opini

Membangun Indonesia Dari Tepian Negeri


Oleh :  Gafur Djali **


Kerap ramai kabar tentang tragis dan derita hidup di garis tepi negeri. Jauh dari segala hal dan terkadang tak pernah merasakan arti menjadi warga negara. Drama itu semakin mengiris hati ketika negeri seberang yang hanya berjarak beberapa hasta rupanya lebih menjanjikan masa depan cerah. Seakan terlahir dan hidup di perbatasan adalah kutukan di katulistiwa.
            Selama puluhan tahun masa Orde Baru perbatasan adalah daerah yang dilupakan. Sementara pada Era SBY pendekatan pembangunan di perbatasan masih terlalu dominan menggunakan pendekatan keamanan. Karena persoalan utama yang mengemuka ketika itu adalah soal garis tapal batas wilayah. Sehingga derap pembangunan yang berorientasi pada manusia terkesan mandeg jalan di tempat.
Pada akhirnya masyarakat merasa bahwa negara telah absen. Maka berjuang sendiri untuk bertahan menjalani hidup tanpa perlu mengemis pada political-will pemerintah adalah pilihan paling rasional. Ada juga yang sedikit nekat dengan berpindah kewarganegaraan. Tentu ini tindakan legal karena setiap individu punya hak (kebebasan menentukan sikap) yang juga telah dilindungi dalam Konvensi Internasional.
Sudah barang tentu, bangsa ini tak perlu lagi menambah daftar hikayat kisah pilu di batas negeri. Indonesia saat ini adalah yang mengerti dari pojok mana pembangunan dan pemerataan musti di mulai. Agar masyarakat yang hidup di garis perbatasan dengan sepenuh jiwa berbangga hati menjadi warga negara sejati.

Kawasan Perbatasan Era Nawa Cita
Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, begitulah bunyi butir ke tiga Nawa Cita. Hal ini juga dipertegas dalam Peraturan Presiden No.2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional – RPJMN 2015-2019. Artinya membangun indonesia dari pinggiran adalah program pembangunan nasional yang wajib dijalankan selama kurun waktu lima tahun kedepan.
Secara umum ada tiga agenda paling penting di perbatasan, yaitu Keamanan wilayah (pertahanan), kesejahteraan kawasan (pemabngunan) dan mobilitas manusia dan barang (keimigrasian). Ketiga hal ini adalah satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan. Semuanya harus berjalan dalam satu skema kerja yang utuh dan sistematis. Maka ketiganya masuk dalam skala prioritas atau dalam bahasa kebijakan publik biasa disebut dengan Pembangunan dan Pengelolaan Kawasan Perbatasan.
Agenda ini akan difokuskan pada 10 Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dan 187 Kecamatan Lokasi Prioritas (Lokpri) di 41 Kabupaten/Kota dan 13 Provinsi. Yaitu dengan sasaran pembangunan kawasan perbatasan pada tahun 2015-2019, meliputi[1]:
1.      Berkembangnya 10 PKSN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, simpul utama transportasi wilayah, pintu gerbang internasional/pos pemeriksaan lintas batas kawasan perbatasan negara, dengan 16 PKSN lainnya sebagai tahap persiapan pengembangan;
2.      Meningkatnya efektifitas diplomasi maritim dan pertahanan, dan penyelesaian batas wilayah negara dengan 10 negara tetangga di kawasan perbatasan laut dan darat, serta meredam rivalitas maritim dan sengketa teritorial;
3.      Menghilangkan aktivitas illegal fishing, illegal logging, human trafficking,dan kegiatan ilegal lainnya, termasuk mengamankan sumberdaya maritim dan Zona Ekonomi Esklusif (ZEE);
4.      Meningkatnya keamanan dan kesejahteran masyarakat perbatasan, termasuk di 92 pulau-pulau kecil terluar/terdepan;
5.      Meningkatnya kerjasama dan pengelolaan perdagangan perbatasan dengan negara tetangga, ditandai dengan meningkatnya perdagangan ekspor-impor di perbatasan, dan menurunnya kegiatan perdagangan ilegal di perbatasan.

Sasaran kebijakan tersebut, kemudian dipertajan dengan arah kebijakan strategis pengembangan kawasan perbatasan 2015-2019. Yaitu berpegang pada prinsip mempercepat pembangunan kawasan perbatasan di berbagai bidang, terutama peningkatan bidang ekonomi, sosial dan keamanan. Selain itu juga memposisikan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga secara terintegrasi dan berwawasan lingkungan.
Untuk mempercepat pengembangan kawasan perbatasan tersebut ditempuh strategi pembangunan sebagai berikut[2]:
1.         Pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan negara berdasarkan karakteristik wilayah, potensi lokal, dan mempertimbangkan peluang pasar negara tetangga dengan didukung pembangunan infrastruktur transportasi, energi, sumber daya air, dan telekomunikasi-informasi;
2.         Membangun sumber daya manusia (SDM) yang handal serta pemanfaatan pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam memanfaatkan dan mengelola potensi lokal, untuk mewujudkan kawasan perbatasan negara yang berdaya saing dan berwawasan lingkungan;
3.         Membangun konektivitas simpul transportasi utama pusat kegiatan strategis nasional dengan desa-desa di kecamatan lokasi prioritas perbatasan dan kecamatan disekitarnya, pusat kegiatan wilayah (ibukota kabupaten), pusat kegiatan nasional (ibukota provinsi), dan menghubungkan dengan negara tetangga, sertamembangun konektivitas melalui pelayanan transportasi laut untuk meningkatkan kualitas dan intensitas pelayanan terhadap wilayah perbatasan laut.
4.         Membuka akses di dalam desa-desa di kecamatan lokasi prioritas dengan transportasi darat, sungai, laut, dan udara dengan jalan/moda/dermaga non status dan pelayanan keperintisan;
5.         Membangun kedaulatan energi di perbatasan Kalimantan, dan kedaulatan telekomunikasi dan informasi di seluruh wilayah perbatasan negara.
6.         Melakukan transformasi kelembagaan lintas batas negara, yaitu Custom, Immigration, Quarantine, `Security (CIQS) sesuai dengan standar internasional dalam suatu sistem pengelolaan yang terpadu.
7.         Meningkatkan kualitas dan kuantitas, serta standarisasi sarana-prasarana pertahanan dan pengamanan perbatasan laut dan darat, serta melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengamankan batas dan kedaulatan negara;
8.         Penegasan batas wilayah negara di darat dan laut melalui Pra-investigation, refixation, maintanance (IRM), pelaksanaan IRM, penataan kelembagaan diplomasi perundingan yang didukung oleh kelengkapan data/peta dukung dan kapasitas peran dan fungsi kelembagaan yang kuat;
9.         Mempercepat penyelesaian status kewarganegaraan pelintas batas dengan identifikasi, pendataan, serta verifikasi status kewarganegaraan masyarakat perbatasan;
10.     Meningkatkan arus perdagangan ekspor-impor di perbatasan, kerjasama perdagangan, kerjasama sosial-budaya, dan kerjasama pertahanan dan keamanan batas wilayah dengan negara tetangga.
11.     Meningkatkan kualitas pengaturan, pembinaan pemanfaatan, dan pengawasan rencana tata ruang, termasuk mendorong percepatan penyusunan peraturan perundangan terkait Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN) untuk memperkuat kedaulatan negara di udara serta penyusunan rencana detail tata ruang kawasan perbatasan negara;
12.     Menerapkan kebijakan desentralisasi asimetris untuk kawasan perbatasan negara dalam memberikan pelayanan publik (infrastruktur dasar wilayah dan sosial dasar) dan distribusi keuangan negara;
13.     Menerapkan kebijakan khusus dan menata pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di kawasan perbatasan yang berorientasi pada kesejahteraan melalui pembinaan, monitoring dan evaluasi; dan
14.     Mereformasi pelayanan publik di kawasan perbatasan melalui penguatan desa di kecamatan lokasi prioritas penanganan kawasan perbatasan melalui fasilitasi, supervisi, dan pendampingan.

Tantangan Ditepian Negeri

Bila dikaji secara seksama maka gagasan Nawa Cita di perbatasan adalah hendak membangun simpul ekonomi baru yang tumbuh di daerah perbatasan. Jokowi memang dikenal memiliki kebijakan yang ekspansif atau biasa disebut Jokowinomics. Perbatasan tidak lagi menjadi daerah transit, melainkan akan menjelma menjadi pusat ekonomi baru.
Terlebih ketika Asean Free Trade Area akan bergulir pada 30 desember 2015 nanti. AFTA 2015 harus dipandang sebagai peluang bagi daerah perbatasan. Mata rantai distribusi ekonomi (barang-jasa) akan menjadikan perbatasan sebagai daerah produksi sekaligus pasar yang mempertemukan konsumen dari minimal dua negara.
Sehingga “membangun Indonesia dari pinggiran” bukanlah slogan semata, melainkan menjadi semangat dan kerja bersama. Problem utama saat ini adalah mendorong inisiatif dan keseriusan Pemerintah daerah (badan pengelola perbatasan daerah) untuk mampu bekerja cepat dan melakukan pembenahan internal agar dapat sesuia dengan kebijakan nasional. Karena pada bayak kasus, terkadang daerah hanya bersifat pasif dan menunggu “belas kasih” dari pemerintah pusat. Sementara, pemerintah pusat tidak dapat bekerja optimal bila tidak ada inisiatif dari pemerintah daerah.
Tantangan berikutnya adalah partisipasi dan peran masyarakat lokal dalam memajukan daerah perbatasan juga perlu ditingkatkan. Bahwa kita harus meninggalkan termenilogi lama yang selalu meletakan masyarakat sebagai objek sebuah kebijakan. Padahal harus sebaliknya, Masyarakat harus ditempatkan sebagai subjek kebijakan. Agar masyarakat menjadi aktor aktif bersama pemerintah merealisasikan kebijakan tersebut.   Karena bila Pemerintah daerah (badan pengelola perbatasan daerah) tak mampu merespon hal ini maka selamanya daerah perbatasan akan tertinggal dan semakin terpinggirkan.

 ** Penulis adalah Direktur Maluku Institute.




Opini

Gizi Buruk dan Penanggulangan Kemiskinan di NTT


Oleh : JUN KABOSU


 “Orang menjadi sakit karena mereka miskin, dan mereka bertambah miskin karena mereka sakit serta menjadi lebih sakit karena mereka lebih miskin.” (Gunnar Myrdal)

Apa yang dikatakan Myrdal ini mungkin tepat bila dihubungkan dengan kasus kematian 11 anak berusia di bawah lima tahun (balita), ditambah 2 balita yang mengalami Marasmus Kwashiorkor, 1.918 penderita gizi buruk, dan 21.134 penderita gizi kurang yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kebanyakan mereka merupakan keluarga miskin yang tinggal di wilayah terpencil dan pedalaman yang sulit dijangkau dengan kendaraan bermotor karena ketiadaan jalan, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Seksi Perbaikan Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur (NTT) Isbandrio (Kompas.com, 23/06/2015).

Banyak bukti menunjukan bahwa mereka yang disebut kaum miskin pada umumnya selalu lemah dalam kemampuan berusaha dan mengalami keterbatasan akses atas kegiatan-kegiatan ekonomi sehingga sering kali makin tertinggal.

Sebagai perbandingan, sebuah studi tentang kehidupan rentan di Kota Surabaya menemukan bahwa seseorang atau keluarga yang hidup dalam kemiskinan, umumnya tidak banyak berdaya, ruang geraknya serba terbatas, dan cenderung kesulitan untuk terserap dalam sektor-sektor yang memungkinkan mereka untuk dapat mengembangkan usahanya (Wignjosoebroto et al., 1992).
Jangankan mengembangkan diri menuju taraf sejahtera, bertahan menegakan hidup fisiknya pada taraf yang subsisten saja merupakan hal yang hampir-hampir mustahil dilakukan bila tidak ditopang oleh jaringan dan pranata sosial di lingkungan sekitarnya.

Kasus gizi buruk dan gizi kurang yang terjadi di NTT jelas berkaitan dengan persoalan kemiskinan. Menurut Robert Chambers (1987), inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau perangkat kemiskinan yang terdiri dari lima unsur, yakni : (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik (3) keterasingan atau kadar isolasi,(4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini saling terkait satu sama lain sehingga merupakan perangkat kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin.
Berdasarkan lima dimensi di atas dalam kasus NTT, kerentanan dan ketidakberdayaan perlu mendapat perhatian utama dari pemerintah. Kerentanan menurut Chambers dapat dipahami sebagai ketidakmampuan keluarga miskin untuk mempersiapkan diri menghadapi situasi darurat.

Dalam kasus NTT, situasi darurat ini dapat dilihat misalnya kemarau panjang yang terjadi sejak tahun 2014 sehingga banyak petani mengalami gagal panen. Kondisi ini menimbulkan krisis pangan sehingga makanan yang dikonsumsi anak pun berkurang, bahkan tidak bergizi. Kekurangan gizi itu membuat anak mudah terserang berbagai penyakit, seperti diare yang bisa mengakibatkan kematian.
Selain itu, ketidakberdayaan keluarga miskin di pedesaan dapat dilihat juga sebagai persoalan struktural. Hal ini tercermin dalam kasus di mana elit desa dengan seenaknya memanfaatkan wewenang yang dimiliki untuk turut memeperoleh bantuan yang sebenarnya diperuntukkan bagi warga miskin.

Fenomena lain ialah keluarga miskin sering ditipu atau ditekan oleh orang yang memiliki kekuasaan untuk tidak menyuarakan protes atas praktik curang yang dipraktikkan di atas. Akibatnya, terjadi bias diaman bantuan terhadap si miskin ternyata justru dinikmati oleh kelompok masyarakat kelas atas yang seharusnya tidak berhak memperoleh bantuan tersebut (Dewanta dkk., 1995).
Kaum miskin acap kali mampu tetap survive dan bahkan bangkit kembali terutama bila mereka memiliki jaringan atau pranata sosial yang melindungi dan menyelamatkan. Tetapi, seseorang atau keluarga yang jatuh pada lingkaran setan atau perangkap kemiskinan, mereka umumya sulit untuk bangkit kembali.

Seseorang yang dibelit perangkap kemiskinan sering tidak bisa ikut menikmati hasil pembangunan dan justru menjadi korban pembangunan, rapuh, tidak atau sulit mengalami peningkatan kualitas kehidupan, dan bahkan justru mengalami penurunan kualitas kehidupan.

Kekuasaan (Pemda) yang Melupakan

Direktur Perkumpulan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT Sarah Lery Mboeik menilai, revolusi kesehatan ibu dan anak (KIA) yang diluncurkan pada 2012 dengan mengalokasikan anggaran miliaran rupiah tidak banyak berpengaruh terhadap masalah gizi buruk di NTT. Kasus gizi buruk di NTT sudah menahun, terjadi sejak 20 tahun silam, dan tidak pernah berubah sampai hari ini. Ia menilai terjadi “kerja sama” antara Pemda dengan DPRD dalam yang ujung- ujungnya untuk kepentingan mereka, melalui sejumlah proyek siluman dan mengorbankan rakyat. Bahkan program Anggur Merah, pun hanya dialamatkan bagi kelompok warga yang mendukung kepala daerah itu, sementara rakyat yang dianggap lawan politik diabaikan begitu saja (Kompas.com, 23/06/2015)
Pada titik ini upaya yang sungguh-sungguh untuk memberdayakan masyarakat, menanggulangi tekanan kemiskinan, membangun kehidupan yang lebih baik, dan sekaligus mengeliminasi kesenjangan sosial dan mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan yang benar-benar berkeadilan harus diakui bukanlah hal yang mudah.

Sebab kekuasaan yang berkembang biak bagai gurita, menjadi kekuatan yang sangat dominan. Kekuasaan ini cenderung menjelma menjadi kekuasaan yang lupa. Ia tidak hanya sebuah kekuasaan yang memaksa pihak lain atau publik lupa pada kerakusan kuasa yang dimilikinya. Namun, lebih utama ia lupa pada hal-hal ideal yang dahulu berhasil mendapuknya ke singgsana; ia lupa untuk apa dan demi siapa sebenarnya ia berkuasa; dan lebih utama, ia lupa pada makna kekuasaan itu.

Penanggulangan Kemiskinan

Memberantas kemiskinan dan memberdayakan masyarakat miskin yang sudah terlanjur meluas harus diakui jauh lebih mudah diucapkan daripada dilakukan dan dibuktikan di lapangan.
Kemiskinan sesungguhnya adalah masalah sosial yang jauh lebih kompleks dari sekedar persoalan kekurangan pendapatan atau tidak dimilikinya aset produksi untuk melangsungkan kehidupan.
Kemiskinan atau lebih tepat disebut perangkap kemiskinan (deprivation trap) menurut Chambers (1987) selain berkaitan dengan ketidakmampuan sebuah keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga menyangkut kerentanan, ketidakberadayaan, keterisolasian, dan kelemahan jasmani.
Menurut Izzedin Bakhit (2001), saat ini yang dibutuhkan agar program-program penanggulangan kemiskinan dapat memberikan hasil yang nyata, tak pelak adalah bagaiamana menggempur akar-akar kemiskinan hingga tuntas (attacking the roots of poverty).

Di berbagai daerah,tak terkecuali di NTT agar perkembangan jumlah penduduk miskin dikurangi dan upaya penanggulangan kemiskinan dapat dipercepat, maka yang dibutuhkan adalah model dan upaya-upya baru yang terfokus pada proses pemberdayaan, revitalisasi sistem nilai setempat, pengakuan pada potensi lokal, dan manajemen program yang benar-benar solid.


** Penulis adalah Putra Malaka,  aktif sebagai Anggota Forum  Diskusi Batu Tulis Nusantara Yogyakarta, saat ini sedang menyelesaikan kuliah pada  Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Respati, Yogyakarta.

Sektor Perkebunan Masyarakat Babulu Selatan Butuh Perhatian Pemerintah

Sektor Perkebunan Masyarakat Babulu Selatan Butuh Perhatian Pemerintah

DSC01999
Paulus Lau, Kepala Desa Babulu Selatan Kecamatan Kobalima,Kabupaten Malaka


Desa Babulu selatan yang terletak di Kecamatan Kobalima, Kabupaten Malaka masih menggantungkan profesi sebagaian besar masyarakatnya pada sektor pertanian. Produksi  pertanian masih menjadi produk unggulan yang harus terus dikembangkan.
Pemberdayaan sektor perkebunan sebagai salah satu potensi Desa Babulu Selatan yang berada dekat dengan tapal batas negara, selain menggerakan perekonomian rakyat juga dapat mengurangi pengangguran. Menjadi PNS masih menjadi profesi primadona hampir di seluruh wilayah Malaka. Dengan dikembangkannya sektor perkebunan potensial di wilayah ini, diharapkan banyak pemuda khususnya yang menamatkan pendidikanya dengan disiplin ilmu pertanian bisa memanfaatkan lahan yang belum digarap untuk diolah dan bisa jadi sumber penghasilan utama.

Menurut kepala desa Babulu Selatan,  Paulus Lau, Desa  yang dipimpinnya memiliki potensi yang masih bisa dikembangkan khususnya sektor perkebunan. Kepala desa memiliki penilaian produksi mente yang diusahan secara tradisonal  di desa ini  sangat baik dan hasil produksi dari perkebunan rakyat mampu menembus pasar kota lain di Indonesia.
“potensi yang dikembangkan di kembangkan di desa babulu selatan adalah Mente, Jeruk, asam, kemiri serta peternakan berupa sapid dan kambing”

Masyarakat babulu selatan sampai saat ini masih menharapkan dukungan yang massif dari pemerindah kabupaten dan pemerintah pusat untuk membantu mereka dalam mengolah lahan pertanian di desa tersebut.


Selama ini Masyarakat mengolah lahanya dengan cara tradisional karena belum mengetahui teknologi pertanian modern. Selain itu dengan kondisi infrastruktur jalan yang belum baik, masyarakat di desa ini kesulitan dalam mendapatkan pupuk dan memasarkan hasil pertanianya. (Freddy Oki / Red*)

Berita Perbatasan

Kabupaten Malaka berpartisipasi dalam Festival Budaya Kawasan Perbatasan 2015



Dalam rangka memperingati 5 tahun berdirinya Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP-RI) dan meningkatkan rasa cinta tanah air, wawasan serta jati diri kebangsaan, BNNP gelar Festival Nusantara Kawasan Perbatasan Negara 2015 pada tanggal 17 September 2015 bertempat di Gedung Pewayangan Pintu I TMII, Jakarta. Kabupaten Malaka yang baru dimekarkan  sebagai Daerah Otonomi Baru yang terletak di kawasan perbatasan ikut berpartisipasi dalam pergelaran festival tersebut. Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Malaka malakukan koordinasi dan kerjsama dengan beberapa sekolah dan sanggar tari yang ada di Kabupaten Malaka guna mengikuti festival budaya tersebut.  Pada tanggal 14 september 2015, bertempat di aula Kantor Bupati Malaka, asisten Administrasi dan Pemerintahan Umum Drs. Zakarias Nahak melakukan pelepasan secara resmi  para peserta festival dan para pendampingnya guna mengikuti festival tersebut. Dalam festival tersebut, gabungan Sanggar tari Manukake Dari SMA negeri Harekake dan sanggar tari Marlilu dari SMA Sinar Pancasila membawakan sebuah tarian khas Kabupaten Malaka yang berjudulBenenain Funan Malaka”.

Secara singkat tarianBenenain Funan Malaka” mengisahkan tentang  Topografi Nusa Tenggara Timur berbukit-bukit dengan dataran yang tersebar sporadis pada luasan yang sempit. Pada umumnya pulau-pulau dominan permukaannya berbukit dan bergunung. Dataran yang sempit memanjang pantai atau diapit oleh dataran tinggi atau sungai. Luas lahan dengan kemiringan di atas 70% mencapai 50% luas wilayah. Dengan wilayah yang didominasi gunung dan bukit dalam perkembangan sejarah, gunung, bukit, dan sungai sangatlah penting. Gunung tidak saja dianggap suci, tempat nenek moyang tinggal dan sungai yang berasal darinya, juga diidentifikasi sebagai sumber kemakmuran. Sungai yang berkelok-kelok mengitari dataran rendah, salah satunya adalah TALA BENENAIN di Dataran MALAKA.

Ada kelompok yang dianggap sulung dan bungsu (Adik/Kakak) dan kelompok yang dianggap wanita dan lelaki (Feto-Mane). Klasifikasi ini menyatakan, lelaki (mane) mewakili klasifikasi atas/langit sedangkan wanita (feto) mewakili klasifikasi bawah/bumi yang menyimpan sejuta kecantikan dan citarasa seni lewat tarian Likurai. Selain itu wanita juga tak jarang diangkat sebagai “Putri yang dipertuan agung”. Dalam sejarah tarian likurai funan malaka disebut tarian unik dijagat ini, lantaran penari adalah sekaligus pemusik. Tarian ini menggambarkan ihwal kekerabatan sekaligus nilai heroik yakni untuk menjemput pahlawan (meo) dari medan pertempuran. Teriakan dan sorakan pahlawan (meo) yang adalah lelaki membahana dan ditingkahi sorakan kegembiraan. Sementara itu wanita (feto) meliukan tubuh sambil menabuh perkusi yang disebut Tihar, menghentak-hentakan kaki mengitari bumi dimana kaki berpijak. Malaka yang hadir kini dan disini, telah mekar semerbak bunga yang harum mewangi, seharum cendana di sudut-sudut MALAKA.

Melalui Pagelaran Budaya Nusantara Kawasan Perbatasan negara ini diharap sosial budaya etnik perbatasan yang merupakan bagian vital dari isi Beranda Depan Negara secara keseluruhan dapat dikenali dikenali, dikuatkan, dirawat, dipromosikan dan dibela dengan dengan segala harganya dalam bingkai Ke-Nusa-Antara-an (Nusantara) dan semangat Kebangsaan.

Selain itu , pagelaran Festival Budaya Nusantara Kawasan Perbatasan Negara ini, diharapkan bisa menjadi salah satu momen dan bukti otentik dari Pemerintah peduli terhadap masyarakat di perbatasan. Festival Budaya Nusantara ini juga merupakan sebuah event yang sangat penting bagi sebuah bangsa dimana masyarakat perbatasan sebagai garda terdepan bangsa Indonesia memiliki keragaman budaya yang khas, yang wajib dikenali, dikuatkan, dirawat, dipromosikan dan dilestarikan serta menjadi perekat pemersatu bangsa dalam kerangka NKRI untuk mendukung kedaulatan dan penguatan ketahanan perbatasan negara. Program ini merupakan salah satu upaya pemerintah yang perlu di apresiasi oleh masyarakat luas dan didukung keberlangsungannya oleh segenap komponen bangsa. (Freddy- Red**)

Infrastruktur Kawasan Perbatasan

Malaka Masih Memiliki Blank Spot

sumber Foto :www.tower-bersama.com


Saat ini kecepatan akses informasi dan kebutuhan jaringan telekomunikasi menjadi sangat penting, bahkan bagi sebagian kalangan  disejajarkan dengan kebutuhan primer. Oleh sebab itu, ketersediaan  infrastruktur penunjang sangat dibutuhkan di seluruh wilayah Indonesia khususnya kawasan perbatasan yang masih ditempeli label tertinggal. Infrastruktur yang dimaksud adalah pembangunan BTS (Base Transceiver Station) di beberapa wilayah yang masih Blank spot (wilayah yang tidak terjangkau sinyal seluler).
  

Wilayah yang masih memiliki blank spot ada di beberapa titik Kabupaten Malaka, Propinsi Nusa Tenggara Timur yang beberbatasan langsung dengan Negara  Timor Leste. Di beberapa  titik justru sinyal Timor Telkom (perusahaan seluler  milik Timor Leste) yang mengisi  blank spot yang tidak terjangkau sinyal Telkomsel. Hal ini menyebabkan tersendatnya arus informasi dan telekomunikasi . Lebih parahnya lagi biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat perbatasan yang mendiami Kabupaten Malaka sangat mahal karena jika mengirim pesan pendek (SMS) dan menelpon dengan menggunakan sinyal Timor Telkom, pulsa yang dikeluarkan sangat banyak (Roaming Internasional) . Kadang kenyataan  ini memunculkan  sindiran bahwa setelah 16 tahun merdeka Timor Leste “menjajah” Indonesia menggunakan sinyal seluler.
Beberapa waktu lalu, Kebutuhan dan keluhan masyarakat  beberapa wilayah di Kabupaten Malaka sudah direspon oleh pemerintah Kabupaten Malaka. Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Malaka yang telah berkoordinasi dengan pemerintah pusat guna mengatasi masalah ini, ketika ditemui di ruang kerjanya, Kepala Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Malaka, Drs. Emanuel  Makaraek M.Si ( kamis, 18/06/2015), mengatakan bahwa tahun ini melalui intervensi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemeninfo),  Telkomsel sebagai salah satu Perusahaan Penyedia layanan  telekomunikasi di Indonesia akan membangun lima BTS baru di beberapa tempat yang masih Blank Spot.


Memang di Kabupaten Malaka masih memiliki blank spot, kira-kira 12 titik . khusus untuk kawasan perbatasan sekitar  lima  titik yang kita prioritaskan tahun ini untuk kita usulkan diantaranya dua titik di Kobalima Timur ( Alas Kota Biru dan Alas Selatan) yang terletak di sekitar PLBN (Pos Lintas Batas Negara) Motamasin . Kemudian satu di Desa Babulu Kecamatan  Kobalima Timur , satu di Malaka Tengah  (daerah sekitar Kakaniuk), kemudian satu lagi di Kecamatan Wewiku. Kelima BTS yang dibangun oleh Telkomsel melalui kordinasi dan intervensi Kemeninfo Merupakan BTS khusus untuk mengatasi blank spot. Disebut khusus karena blank spot jika dibangun BTS tidak ekonomis, tidak menguntungkan. Tetapi atas koordinasi dan intervensi Kemeninfo dengan anggaran kepada Telkomsel, maka BTS pada area blank spot yang tidak ekonomis dapat dibangun. Ini merupakan tekad  Pemerintah membuka keterisolasian arus informasi dan telekomunikasi  dikawasan perbatasan”, jelasnya . (Freddy Oki & Meggy Correia / Red*)

Potensi Kawasan Perbatasan

Kakao, Salah Satu Potensi Unggulan Kabupaten Malaka


Sudah menjadi rahasia umum bahwa coklat menjadi salah satu makanan yang berikan kepada orang-orang tercinta pada saat hari Valentine atau momen romantik lainya. Mungkin saja salah satu batang coklat yang pernah anda hadiahkan pada pasangan atau orang-orang tercinta lainya justru dihasilkan dari bumi Malaka.  Kakao yang menjadi bahan dasar pembuatan coklat setelah melalui proses fermentasi sudah  sejak 23 tahun ditanam dan dikembangkan di  desa Wederok, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggra Timur.
Sejak tahun 1992 PT Timor Mitra Niaga yang dimiliki pak Hengki Liyanto ini berinvestasi dalam bentuk perkebunan kakao di Desa Wederok dengan luas lahan 86 hektar dengan jumlah tegakan kakao menempati 68 hektar lahan. Sedangkan  sisanya untuk akses jalan, tempat pengeringan, tempat fermentasi , kantor dan rumah bagi pegawai perkebunan .  Hingga tahun 2015 perkebunan kakao  dengan status HGU (Hak Guna Usaha)  ini menjadi salah satu potensi yang dikembangkan di Kabupaten Malaka.  Setiap hektar lahan perkebunan ini ditanami 1100 pohon kakao yang jika ditotal maka jumlah pohon kakao diperkebunan ini mencapai  78.800 pohon kakao yang masih terus berproduksi hingga sekarang.  Karena tidak semua bagian dari lahan perkebunan ini ditanamai Kakao, maka kekosongan atau celah dari tanaman kakao ditanami tanaman lain. Lahan ini dibedakan menjadi dua tanda warna yaitu jalur hijau yang bisa ditanami  tanaman kakao sedangkan jalur merah tidak bisa ditanami kakao  dan untuk mengisi kekosongan ini maka jalur merah ditanami pinang, kelapa, mahoni dan jati putih.
Kabag Perkebunan , Tiberius Sem yang ditemui di kantor perkebunan PT  Timor Mitra Niaga (jumat, 8/05/2015) mengatakan bahwa perkebunan ini pernah mencapai puncak hasil panen yaitu 52 ton pada tahun 2014.
“  selama ini kita biasa panen antara bulan juni dan juli. Hasil panen kebun ini tidak stabil, kita pernah mencapai puncak itu 52 ton pada tahun 2004. Musim hujan dan kemarau serta  bencana banjir kadang menjadi salah satu faktor penyebab naik turunya hasil produksi kebun ini. Pada tahun 2014 produksi kita  22,3 ton saja. “ jelasnya
Kehadiran perkebunan ini menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat sekitar desa Wederok karena bisa menyerap tenaga kerja khususnya pada saat panen.
“  jumlah pekerja tetap disini sebanyak 40 orang , staf  (kantor) sampai yang bekerja di lapangan. Kalau saat panen kita pake borongan lepas , kita merekrut masyarakat sekitar sini. Mereka petik dan kakao basah kita timbang diberi upah Rp. 750,- perkilo.  Dengan kehadiran kebun ini cukup membantu menyerap tenaga kerja lokal yang ada “.
Komoditas pertanian khususnya kakao sangat cocok dibudidayakan di Kabupaten Malaka. Masyarakat  masih bisa diberdayakan untuk menanam komoditas ini di wilayah perbatasan yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste, mereka membutuhkan peralatan pertanian modern, pelatihan dan cara bercocok tanam yang baik. Hasilnya dapat dijual kepada pengusaha kakao yang ada di kabupaten Malaka . (Freddy Oki & Ronald Lily/Red*)