Membangun
Indonesia Dari Tepian Negeri
Oleh : Gafur Djali **
Kerap
ramai kabar tentang tragis dan derita hidup di garis tepi negeri. Jauh dari
segala hal dan terkadang tak pernah merasakan arti menjadi warga negara. Drama
itu semakin mengiris hati ketika negeri seberang yang hanya berjarak beberapa
hasta rupanya lebih menjanjikan masa depan cerah. Seakan terlahir dan hidup di perbatasan
adalah kutukan di katulistiwa.
Selama puluhan tahun masa Orde Baru
perbatasan adalah daerah yang dilupakan. Sementara pada Era SBY pendekatan
pembangunan di perbatasan masih terlalu dominan menggunakan pendekatan
keamanan. Karena persoalan utama yang mengemuka ketika itu adalah soal garis tapal
batas wilayah. Sehingga derap pembangunan yang berorientasi pada manusia
terkesan mandeg jalan di tempat.
Pada
akhirnya masyarakat merasa bahwa negara telah absen. Maka berjuang sendiri
untuk bertahan menjalani hidup tanpa perlu mengemis pada political-will pemerintah adalah pilihan paling rasional. Ada juga
yang sedikit nekat dengan berpindah kewarganegaraan. Tentu ini tindakan legal
karena setiap individu punya hak (kebebasan menentukan sikap) yang juga telah
dilindungi dalam Konvensi Internasional.
Sudah
barang tentu, bangsa ini tak perlu lagi menambah daftar hikayat kisah pilu di
batas negeri. Indonesia saat ini adalah yang mengerti dari pojok mana
pembangunan dan pemerataan musti di mulai. Agar masyarakat yang hidup di garis
perbatasan dengan sepenuh jiwa berbangga hati menjadi warga negara sejati.
Kawasan Perbatasan Era Nawa Cita
Membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan, begitulah bunyi butir ke tiga Nawa Cita. Hal ini juga
dipertegas dalam Peraturan Presiden No.2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menegah Nasional – RPJMN 2015-2019. Artinya membangun indonesia dari
pinggiran adalah program pembangunan nasional yang wajib dijalankan selama
kurun waktu lima tahun kedepan.
Secara
umum ada tiga agenda paling penting di perbatasan, yaitu Keamanan wilayah
(pertahanan), kesejahteraan kawasan (pemabngunan) dan mobilitas manusia dan
barang (keimigrasian). Ketiga hal ini adalah satu kesatuan yang tak boleh
dipisahkan. Semuanya harus berjalan dalam satu skema kerja yang utuh dan
sistematis. Maka ketiganya masuk dalam skala prioritas atau dalam bahasa
kebijakan publik biasa disebut dengan Pembangunan dan Pengelolaan Kawasan
Perbatasan.
Agenda
ini akan difokuskan pada 10 Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dan 187
Kecamatan Lokasi Prioritas (Lokpri) di 41 Kabupaten/Kota dan 13 Provinsi. Yaitu
dengan sasaran pembangunan kawasan perbatasan pada tahun 2015-2019, meliputi[1]:
1.
Berkembangnya 10 PKSN sebagai pusat pertumbuhan
ekonomi, simpul utama transportasi wilayah, pintu gerbang internasional/pos
pemeriksaan lintas batas kawasan perbatasan negara, dengan 16 PKSN lainnya
sebagai tahap persiapan pengembangan;
2.
Meningkatnya efektifitas diplomasi maritim dan
pertahanan, dan penyelesaian batas wilayah negara dengan 10 negara tetangga di
kawasan perbatasan laut dan darat, serta meredam rivalitas maritim dan sengketa
teritorial;
3.
Menghilangkan aktivitas illegal fishing,
illegal logging, human trafficking,dan kegiatan ilegal lainnya,
termasuk mengamankan sumberdaya maritim dan Zona Ekonomi Esklusif (ZEE);
4.
Meningkatnya keamanan dan kesejahteran masyarakat
perbatasan, termasuk di 92 pulau-pulau kecil terluar/terdepan;
5.
Meningkatnya kerjasama dan pengelolaan
perdagangan perbatasan dengan negara tetangga, ditandai dengan meningkatnya
perdagangan ekspor-impor di perbatasan, dan menurunnya kegiatan perdagangan
ilegal di perbatasan.
Sasaran
kebijakan tersebut, kemudian dipertajan dengan arah kebijakan strategis pengembangan
kawasan perbatasan 2015-2019. Yaitu berpegang pada prinsip mempercepat
pembangunan kawasan perbatasan di berbagai bidang, terutama peningkatan bidang
ekonomi, sosial dan keamanan. Selain itu juga memposisikan kawasan perbatasan
sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga
secara terintegrasi dan berwawasan lingkungan.
Untuk
mempercepat pengembangan kawasan perbatasan tersebut ditempuh strategi
pembangunan sebagai berikut[2]:
1.
Pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi kawasan
perbatasan negara berdasarkan karakteristik wilayah, potensi lokal, dan
mempertimbangkan peluang pasar negara tetangga dengan didukung pembangunan
infrastruktur transportasi, energi, sumber daya air, dan
telekomunikasi-informasi;
2.
Membangun sumber daya manusia (SDM) yang handal
serta pemanfaatan pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam memanfaatkan dan
mengelola potensi lokal, untuk mewujudkan kawasan perbatasan negara yang
berdaya saing dan berwawasan lingkungan;
3.
Membangun konektivitas simpul transportasi utama
pusat kegiatan strategis nasional dengan desa-desa di kecamatan lokasi
prioritas perbatasan dan kecamatan disekitarnya, pusat kegiatan wilayah
(ibukota kabupaten), pusat kegiatan nasional (ibukota provinsi), dan
menghubungkan dengan negara tetangga, sertamembangun konektivitas melalui
pelayanan transportasi laut untuk meningkatkan kualitas dan intensitas
pelayanan terhadap wilayah perbatasan laut.
4.
Membuka akses di dalam desa-desa di kecamatan
lokasi prioritas dengan transportasi darat, sungai, laut, dan udara dengan
jalan/moda/dermaga non status dan pelayanan keperintisan;
5.
Membangun kedaulatan energi di perbatasan
Kalimantan, dan kedaulatan telekomunikasi dan informasi di seluruh wilayah
perbatasan negara.
6.
Melakukan transformasi kelembagaan lintas batas
negara, yaitu Custom, Immigration, Quarantine, `Security (CIQS) sesuai
dengan standar internasional dalam suatu sistem pengelolaan yang terpadu.
7.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas, serta
standarisasi sarana-prasarana pertahanan dan pengamanan perbatasan laut dan
darat, serta melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengamankan batas dan
kedaulatan negara;
8.
Penegasan batas wilayah negara di darat dan laut
melalui Pra-investigation, refixation, maintanance (IRM), pelaksanaan
IRM, penataan kelembagaan diplomasi perundingan yang didukung oleh kelengkapan
data/peta dukung dan kapasitas peran dan fungsi kelembagaan yang kuat;
9.
Mempercepat penyelesaian status kewarganegaraan
pelintas batas dengan identifikasi, pendataan, serta verifikasi status
kewarganegaraan masyarakat perbatasan;
10. Meningkatkan
arus perdagangan ekspor-impor di perbatasan, kerjasama perdagangan, kerjasama
sosial-budaya, dan kerjasama pertahanan dan keamanan batas wilayah dengan
negara tetangga.
11. Meningkatkan
kualitas pengaturan, pembinaan pemanfaatan, dan pengawasan rencana tata ruang,
termasuk mendorong percepatan penyusunan peraturan perundangan terkait
Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN) untuk memperkuat kedaulatan negara di
udara serta penyusunan rencana detail tata ruang kawasan perbatasan negara;
12. Menerapkan
kebijakan desentralisasi asimetris untuk kawasan perbatasan negara dalam
memberikan pelayanan publik (infrastruktur dasar wilayah dan sosial dasar) dan
distribusi keuangan negara;
13. Menerapkan
kebijakan khusus dan menata pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di kawasan
perbatasan yang berorientasi pada kesejahteraan melalui pembinaan, monitoring
dan evaluasi; dan
14. Mereformasi
pelayanan publik di kawasan perbatasan melalui penguatan desa di kecamatan
lokasi prioritas penanganan kawasan perbatasan melalui fasilitasi, supervisi,
dan pendampingan.
Tantangan Ditepian Negeri
Bila
dikaji secara seksama maka gagasan Nawa Cita di perbatasan adalah hendak
membangun simpul ekonomi baru yang tumbuh di daerah perbatasan. Jokowi memang
dikenal memiliki kebijakan yang ekspansif atau biasa disebut Jokowinomics.
Perbatasan tidak lagi menjadi daerah transit, melainkan akan menjelma menjadi
pusat ekonomi baru.
Terlebih
ketika Asean Free Trade Area akan
bergulir pada 30 desember 2015 nanti. AFTA 2015 harus dipandang sebagai peluang
bagi daerah perbatasan. Mata rantai distribusi ekonomi (barang-jasa) akan
menjadikan perbatasan sebagai daerah produksi sekaligus pasar yang
mempertemukan konsumen dari minimal dua negara.
Sehingga
“membangun Indonesia dari pinggiran” bukanlah slogan semata, melainkan menjadi
semangat dan kerja bersama. Problem utama saat ini adalah mendorong inisiatif
dan keseriusan Pemerintah daerah (badan pengelola perbatasan daerah) untuk
mampu bekerja cepat dan melakukan pembenahan internal agar dapat sesuia dengan
kebijakan nasional. Karena pada bayak kasus, terkadang daerah hanya bersifat
pasif dan menunggu “belas kasih” dari pemerintah pusat. Sementara, pemerintah
pusat tidak dapat bekerja optimal bila tidak ada inisiatif dari pemerintah
daerah.
Tantangan
berikutnya adalah partisipasi dan peran masyarakat lokal dalam memajukan daerah
perbatasan juga perlu ditingkatkan. Bahwa kita harus meninggalkan termenilogi
lama yang selalu meletakan masyarakat sebagai objek sebuah kebijakan. Padahal
harus sebaliknya, Masyarakat harus ditempatkan sebagai subjek kebijakan. Agar
masyarakat menjadi aktor aktif bersama pemerintah merealisasikan kebijakan
tersebut. Karena bila Pemerintah daerah
(badan pengelola perbatasan daerah) tak mampu merespon hal ini maka selamanya
daerah perbatasan akan tertinggal dan semakin terpinggirkan.
**
Penulis adalah Direktur Maluku Institute.