Gizi Buruk dan Penanggulangan
Kemiskinan di NTT
Oleh : JUN KABOSU
“Orang menjadi sakit karena mereka miskin, dan
mereka bertambah miskin karena mereka sakit serta menjadi lebih sakit karena
mereka lebih miskin.” (Gunnar Myrdal)
Apa yang dikatakan Myrdal ini mungkin tepat bila dihubungkan
dengan kasus kematian 11 anak berusia di bawah lima tahun (balita), ditambah 2
balita yang mengalami Marasmus Kwashiorkor, 1.918 penderita gizi buruk, dan
21.134 penderita gizi kurang yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kebanyakan mereka merupakan keluarga miskin yang tinggal di
wilayah terpencil dan pedalaman yang sulit dijangkau dengan kendaraan bermotor
karena ketiadaan jalan, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Seksi Perbaikan
Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur (NTT) Isbandrio (Kompas.com,
23/06/2015).
Banyak bukti menunjukan bahwa mereka yang disebut kaum
miskin pada umumnya selalu lemah dalam kemampuan berusaha dan mengalami
keterbatasan akses atas kegiatan-kegiatan ekonomi sehingga sering kali makin
tertinggal.
Sebagai perbandingan, sebuah studi tentang kehidupan rentan
di Kota Surabaya menemukan bahwa seseorang atau keluarga yang hidup dalam
kemiskinan, umumnya tidak banyak berdaya, ruang geraknya serba terbatas, dan
cenderung kesulitan untuk terserap dalam sektor-sektor yang memungkinkan mereka
untuk dapat mengembangkan usahanya (Wignjosoebroto et al., 1992).
Jangankan mengembangkan diri menuju taraf sejahtera,
bertahan menegakan hidup fisiknya pada taraf yang subsisten saja merupakan hal
yang hampir-hampir mustahil dilakukan bila tidak ditopang oleh jaringan dan
pranata sosial di lingkungan sekitarnya.
Kasus gizi buruk dan gizi kurang yang terjadi di NTT jelas
berkaitan dengan persoalan kemiskinan. Menurut Robert Chambers (1987), inti
dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut deprivation
trap atau perangkat kemiskinan yang terdiri dari lima unsur, yakni : (1) kemiskinan
itu sendiri, (2) kelemahan fisik (3) keterasingan atau kadar isolasi,(4)
kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini saling terkait satu sama
lain sehingga merupakan perangkat kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan
mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin.
Berdasarkan lima dimensi di atas dalam kasus NTT, kerentanan
dan ketidakberdayaan perlu mendapat perhatian utama dari pemerintah. Kerentanan
menurut Chambers dapat dipahami sebagai ketidakmampuan keluarga miskin untuk mempersiapkan
diri menghadapi situasi darurat.
Dalam kasus NTT, situasi darurat ini dapat dilihat misalnya
kemarau panjang yang terjadi sejak tahun 2014 sehingga banyak petani mengalami
gagal panen. Kondisi ini menimbulkan krisis pangan sehingga makanan yang
dikonsumsi anak pun berkurang, bahkan tidak bergizi. Kekurangan gizi itu
membuat anak mudah terserang berbagai penyakit, seperti diare yang bisa
mengakibatkan kematian.
Selain itu, ketidakberdayaan keluarga miskin di pedesaan
dapat dilihat juga sebagai persoalan struktural. Hal ini tercermin dalam kasus
di mana elit desa dengan seenaknya memanfaatkan wewenang yang dimiliki untuk
turut memeperoleh bantuan yang sebenarnya diperuntukkan bagi warga miskin.
Fenomena lain ialah keluarga miskin sering ditipu atau
ditekan oleh orang yang memiliki kekuasaan untuk tidak menyuarakan protes atas
praktik curang yang dipraktikkan di atas. Akibatnya, terjadi bias diaman
bantuan terhadap si miskin ternyata justru dinikmati oleh kelompok masyarakat
kelas atas yang seharusnya tidak berhak memperoleh bantuan tersebut (Dewanta
dkk., 1995).
Kaum miskin acap kali mampu tetap survive dan bahkan bangkit
kembali terutama bila mereka memiliki jaringan atau pranata sosial yang
melindungi dan menyelamatkan. Tetapi, seseorang atau keluarga yang jatuh pada
lingkaran setan atau perangkap kemiskinan, mereka umumya sulit untuk bangkit
kembali.
Seseorang yang dibelit perangkap kemiskinan sering tidak
bisa ikut menikmati hasil pembangunan dan justru menjadi korban pembangunan,
rapuh, tidak atau sulit mengalami peningkatan kualitas kehidupan, dan bahkan
justru mengalami penurunan kualitas kehidupan.
Kekuasaan (Pemda) yang Melupakan
Direktur Perkumpulan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR)
NTT Sarah Lery Mboeik menilai, revolusi kesehatan ibu dan anak (KIA) yang
diluncurkan pada 2012 dengan mengalokasikan anggaran miliaran rupiah tidak
banyak berpengaruh terhadap masalah gizi buruk di NTT. Kasus gizi buruk di NTT
sudah menahun, terjadi sejak 20 tahun silam, dan tidak pernah berubah sampai
hari ini. Ia menilai terjadi “kerja sama” antara Pemda dengan DPRD dalam yang
ujung- ujungnya untuk kepentingan mereka, melalui sejumlah proyek siluman dan
mengorbankan rakyat. Bahkan program Anggur Merah, pun hanya dialamatkan bagi
kelompok warga yang mendukung kepala daerah itu, sementara rakyat yang dianggap
lawan politik diabaikan begitu saja (Kompas.com, 23/06/2015)
Pada titik ini upaya yang sungguh-sungguh untuk
memberdayakan masyarakat, menanggulangi tekanan kemiskinan, membangun kehidupan
yang lebih baik, dan sekaligus mengeliminasi kesenjangan sosial dan mempercepat
upaya penanggulangan kemiskinan yang benar-benar berkeadilan harus diakui
bukanlah hal yang mudah.
Sebab kekuasaan yang berkembang biak bagai gurita, menjadi
kekuatan yang sangat dominan. Kekuasaan ini cenderung menjelma menjadi
kekuasaan yang lupa. Ia tidak hanya sebuah kekuasaan yang memaksa pihak lain
atau publik lupa pada kerakusan kuasa yang dimilikinya. Namun, lebih utama ia
lupa pada hal-hal ideal yang dahulu berhasil mendapuknya ke singgsana; ia lupa
untuk apa dan demi siapa sebenarnya ia berkuasa; dan lebih utama, ia lupa pada
makna kekuasaan itu.
Penanggulangan Kemiskinan
Memberantas kemiskinan dan memberdayakan masyarakat miskin
yang sudah terlanjur meluas harus diakui jauh lebih mudah diucapkan daripada
dilakukan dan dibuktikan di lapangan.
Kemiskinan sesungguhnya adalah masalah sosial yang jauh
lebih kompleks dari sekedar persoalan kekurangan pendapatan atau tidak
dimilikinya aset produksi untuk melangsungkan kehidupan.
Kemiskinan atau lebih tepat disebut perangkap kemiskinan
(deprivation trap) menurut Chambers (1987) selain berkaitan dengan
ketidakmampuan sebuah keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga
menyangkut kerentanan, ketidakberadayaan, keterisolasian, dan kelemahan
jasmani.
Menurut Izzedin Bakhit (2001), saat ini yang dibutuhkan agar
program-program penanggulangan kemiskinan dapat memberikan hasil yang nyata,
tak pelak adalah bagaiamana menggempur akar-akar kemiskinan hingga tuntas (attacking
the roots of poverty).
Di berbagai daerah,tak terkecuali di NTT agar perkembangan
jumlah penduduk miskin dikurangi dan upaya penanggulangan kemiskinan dapat
dipercepat, maka yang dibutuhkan adalah model dan upaya-upya baru yang terfokus
pada proses pemberdayaan, revitalisasi sistem nilai setempat, pengakuan pada
potensi lokal, dan manajemen program yang benar-benar solid.
** Penulis adalah Putra Malaka, aktif sebagai Anggota Forum Diskusi Batu Tulis Nusantara Yogyakarta, saat
ini sedang menyelesaikan kuliah pada Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas
Respati, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar