Jumat, 03 Juni 2016

Opini

Membangun Indonesia Dari Tepian Negeri


Oleh :  Gafur Djali **


Kerap ramai kabar tentang tragis dan derita hidup di garis tepi negeri. Jauh dari segala hal dan terkadang tak pernah merasakan arti menjadi warga negara. Drama itu semakin mengiris hati ketika negeri seberang yang hanya berjarak beberapa hasta rupanya lebih menjanjikan masa depan cerah. Seakan terlahir dan hidup di perbatasan adalah kutukan di katulistiwa.
            Selama puluhan tahun masa Orde Baru perbatasan adalah daerah yang dilupakan. Sementara pada Era SBY pendekatan pembangunan di perbatasan masih terlalu dominan menggunakan pendekatan keamanan. Karena persoalan utama yang mengemuka ketika itu adalah soal garis tapal batas wilayah. Sehingga derap pembangunan yang berorientasi pada manusia terkesan mandeg jalan di tempat.
Pada akhirnya masyarakat merasa bahwa negara telah absen. Maka berjuang sendiri untuk bertahan menjalani hidup tanpa perlu mengemis pada political-will pemerintah adalah pilihan paling rasional. Ada juga yang sedikit nekat dengan berpindah kewarganegaraan. Tentu ini tindakan legal karena setiap individu punya hak (kebebasan menentukan sikap) yang juga telah dilindungi dalam Konvensi Internasional.
Sudah barang tentu, bangsa ini tak perlu lagi menambah daftar hikayat kisah pilu di batas negeri. Indonesia saat ini adalah yang mengerti dari pojok mana pembangunan dan pemerataan musti di mulai. Agar masyarakat yang hidup di garis perbatasan dengan sepenuh jiwa berbangga hati menjadi warga negara sejati.

Kawasan Perbatasan Era Nawa Cita
Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, begitulah bunyi butir ke tiga Nawa Cita. Hal ini juga dipertegas dalam Peraturan Presiden No.2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional – RPJMN 2015-2019. Artinya membangun indonesia dari pinggiran adalah program pembangunan nasional yang wajib dijalankan selama kurun waktu lima tahun kedepan.
Secara umum ada tiga agenda paling penting di perbatasan, yaitu Keamanan wilayah (pertahanan), kesejahteraan kawasan (pemabngunan) dan mobilitas manusia dan barang (keimigrasian). Ketiga hal ini adalah satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan. Semuanya harus berjalan dalam satu skema kerja yang utuh dan sistematis. Maka ketiganya masuk dalam skala prioritas atau dalam bahasa kebijakan publik biasa disebut dengan Pembangunan dan Pengelolaan Kawasan Perbatasan.
Agenda ini akan difokuskan pada 10 Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dan 187 Kecamatan Lokasi Prioritas (Lokpri) di 41 Kabupaten/Kota dan 13 Provinsi. Yaitu dengan sasaran pembangunan kawasan perbatasan pada tahun 2015-2019, meliputi[1]:
1.      Berkembangnya 10 PKSN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, simpul utama transportasi wilayah, pintu gerbang internasional/pos pemeriksaan lintas batas kawasan perbatasan negara, dengan 16 PKSN lainnya sebagai tahap persiapan pengembangan;
2.      Meningkatnya efektifitas diplomasi maritim dan pertahanan, dan penyelesaian batas wilayah negara dengan 10 negara tetangga di kawasan perbatasan laut dan darat, serta meredam rivalitas maritim dan sengketa teritorial;
3.      Menghilangkan aktivitas illegal fishing, illegal logging, human trafficking,dan kegiatan ilegal lainnya, termasuk mengamankan sumberdaya maritim dan Zona Ekonomi Esklusif (ZEE);
4.      Meningkatnya keamanan dan kesejahteran masyarakat perbatasan, termasuk di 92 pulau-pulau kecil terluar/terdepan;
5.      Meningkatnya kerjasama dan pengelolaan perdagangan perbatasan dengan negara tetangga, ditandai dengan meningkatnya perdagangan ekspor-impor di perbatasan, dan menurunnya kegiatan perdagangan ilegal di perbatasan.

Sasaran kebijakan tersebut, kemudian dipertajan dengan arah kebijakan strategis pengembangan kawasan perbatasan 2015-2019. Yaitu berpegang pada prinsip mempercepat pembangunan kawasan perbatasan di berbagai bidang, terutama peningkatan bidang ekonomi, sosial dan keamanan. Selain itu juga memposisikan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga secara terintegrasi dan berwawasan lingkungan.
Untuk mempercepat pengembangan kawasan perbatasan tersebut ditempuh strategi pembangunan sebagai berikut[2]:
1.         Pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan negara berdasarkan karakteristik wilayah, potensi lokal, dan mempertimbangkan peluang pasar negara tetangga dengan didukung pembangunan infrastruktur transportasi, energi, sumber daya air, dan telekomunikasi-informasi;
2.         Membangun sumber daya manusia (SDM) yang handal serta pemanfaatan pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam memanfaatkan dan mengelola potensi lokal, untuk mewujudkan kawasan perbatasan negara yang berdaya saing dan berwawasan lingkungan;
3.         Membangun konektivitas simpul transportasi utama pusat kegiatan strategis nasional dengan desa-desa di kecamatan lokasi prioritas perbatasan dan kecamatan disekitarnya, pusat kegiatan wilayah (ibukota kabupaten), pusat kegiatan nasional (ibukota provinsi), dan menghubungkan dengan negara tetangga, sertamembangun konektivitas melalui pelayanan transportasi laut untuk meningkatkan kualitas dan intensitas pelayanan terhadap wilayah perbatasan laut.
4.         Membuka akses di dalam desa-desa di kecamatan lokasi prioritas dengan transportasi darat, sungai, laut, dan udara dengan jalan/moda/dermaga non status dan pelayanan keperintisan;
5.         Membangun kedaulatan energi di perbatasan Kalimantan, dan kedaulatan telekomunikasi dan informasi di seluruh wilayah perbatasan negara.
6.         Melakukan transformasi kelembagaan lintas batas negara, yaitu Custom, Immigration, Quarantine, `Security (CIQS) sesuai dengan standar internasional dalam suatu sistem pengelolaan yang terpadu.
7.         Meningkatkan kualitas dan kuantitas, serta standarisasi sarana-prasarana pertahanan dan pengamanan perbatasan laut dan darat, serta melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengamankan batas dan kedaulatan negara;
8.         Penegasan batas wilayah negara di darat dan laut melalui Pra-investigation, refixation, maintanance (IRM), pelaksanaan IRM, penataan kelembagaan diplomasi perundingan yang didukung oleh kelengkapan data/peta dukung dan kapasitas peran dan fungsi kelembagaan yang kuat;
9.         Mempercepat penyelesaian status kewarganegaraan pelintas batas dengan identifikasi, pendataan, serta verifikasi status kewarganegaraan masyarakat perbatasan;
10.     Meningkatkan arus perdagangan ekspor-impor di perbatasan, kerjasama perdagangan, kerjasama sosial-budaya, dan kerjasama pertahanan dan keamanan batas wilayah dengan negara tetangga.
11.     Meningkatkan kualitas pengaturan, pembinaan pemanfaatan, dan pengawasan rencana tata ruang, termasuk mendorong percepatan penyusunan peraturan perundangan terkait Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN) untuk memperkuat kedaulatan negara di udara serta penyusunan rencana detail tata ruang kawasan perbatasan negara;
12.     Menerapkan kebijakan desentralisasi asimetris untuk kawasan perbatasan negara dalam memberikan pelayanan publik (infrastruktur dasar wilayah dan sosial dasar) dan distribusi keuangan negara;
13.     Menerapkan kebijakan khusus dan menata pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di kawasan perbatasan yang berorientasi pada kesejahteraan melalui pembinaan, monitoring dan evaluasi; dan
14.     Mereformasi pelayanan publik di kawasan perbatasan melalui penguatan desa di kecamatan lokasi prioritas penanganan kawasan perbatasan melalui fasilitasi, supervisi, dan pendampingan.

Tantangan Ditepian Negeri

Bila dikaji secara seksama maka gagasan Nawa Cita di perbatasan adalah hendak membangun simpul ekonomi baru yang tumbuh di daerah perbatasan. Jokowi memang dikenal memiliki kebijakan yang ekspansif atau biasa disebut Jokowinomics. Perbatasan tidak lagi menjadi daerah transit, melainkan akan menjelma menjadi pusat ekonomi baru.
Terlebih ketika Asean Free Trade Area akan bergulir pada 30 desember 2015 nanti. AFTA 2015 harus dipandang sebagai peluang bagi daerah perbatasan. Mata rantai distribusi ekonomi (barang-jasa) akan menjadikan perbatasan sebagai daerah produksi sekaligus pasar yang mempertemukan konsumen dari minimal dua negara.
Sehingga “membangun Indonesia dari pinggiran” bukanlah slogan semata, melainkan menjadi semangat dan kerja bersama. Problem utama saat ini adalah mendorong inisiatif dan keseriusan Pemerintah daerah (badan pengelola perbatasan daerah) untuk mampu bekerja cepat dan melakukan pembenahan internal agar dapat sesuia dengan kebijakan nasional. Karena pada bayak kasus, terkadang daerah hanya bersifat pasif dan menunggu “belas kasih” dari pemerintah pusat. Sementara, pemerintah pusat tidak dapat bekerja optimal bila tidak ada inisiatif dari pemerintah daerah.
Tantangan berikutnya adalah partisipasi dan peran masyarakat lokal dalam memajukan daerah perbatasan juga perlu ditingkatkan. Bahwa kita harus meninggalkan termenilogi lama yang selalu meletakan masyarakat sebagai objek sebuah kebijakan. Padahal harus sebaliknya, Masyarakat harus ditempatkan sebagai subjek kebijakan. Agar masyarakat menjadi aktor aktif bersama pemerintah merealisasikan kebijakan tersebut.   Karena bila Pemerintah daerah (badan pengelola perbatasan daerah) tak mampu merespon hal ini maka selamanya daerah perbatasan akan tertinggal dan semakin terpinggirkan.

 ** Penulis adalah Direktur Maluku Institute.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar